KilasJava.id, Surabaya – Insiden gigitan otter baru-baru ini menjadi pengingat bahwa hewan eksotik tetap memiliki naluri liar yang bisa berbahaya bagi manusia. Meski terlihat menggemaskan, otter bukanlah hewan yang bisa sepenuhnya dijinakkan.
Selain itu, tidak semua jenis otter boleh dipelihara karena sebagian besar masuk dalam daftar satwa dilindungi.
Dosen Satwa Liar Kedokteran Hewan FIKKIA UNAIR, Aditya Yudhana, menjelaskan bahwa otter sering disebut sebagai berang-berang dan termasuk dalam kelompok mamalia semi-akuatik. Hewan ini hidup di sekitar aliran sungai dan rawa.
“Secara taksonomi, ada dua kelompok berang-berang yang berbeda. Pertama, otter yang termasuk dalam ordo karnivora dan bergantung pada daging sebagai sumber utama nutrisi. Kedua, beaver dari ordo rodentia yang merupakan herbivora dengan pola makan berbasis tumbuhan,” katanya.
Namun, beaver tidak ditemukan di Indonesia. Otter yang hidup di perairan Indonesia adalah pemangsa ikan, udang, kepiting, dan crustacea lainnya.
Di Indonesia terdapat empat jenis otter, tetapi hanya satu yang tidak berstatus dilindungi, yaitu berang-berang cakar kecil (Aonyx cinereus). Namun, meskipun tidak dilindungi, populasi spesies ini terus menurun akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, otter jenis ini sudah masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
“Perdagangan hewan eksotik di Indonesia bukan sepenuhnya hasil budi daya. Sebagian besar masih berasal dari alam. Ini berisiko mempercepat kepunahan spesies akibat eksploitasi untuk hobi yang tidak bertanggung jawab,” ujar Aditya.
Selain masalah legalitas dan konservasi, aspek lain yang harus diperhatikan adalah sifat liar otter yang sulit dihilangkan. Hewan yang diambil langsung dari alam akan tetap memiliki naluri bertahan hidup yang kuat.
“Jika otter berasal dari habitat alami dan sudah dewasa, maka tidak bisa jinak sepenuhnya. Naluri liar tetap ada, sehingga bisa berisiko mencakar atau menggigit pemiliknya,” jelasnya.
Lebih dari itu, otter yang tidak menjalani skrining kesehatan berpotensi membawa penyakit zoonosis. Penyakit ini dapat menular ke manusia melalui bakteri, parasit, jamur, hingga rabies.
“Ketidaktahuan akan risiko zoonosis bisa membahayakan pemilik. Hewan yang terlihat sehat sekalipun bisa membawa penyakit yang berbahaya,” tambahnya.
Selain faktor alamiah, stres juga menjadi pemicu agresivitas otter. Hewan ini terbiasa mengeksplorasi alam, sehingga ketika dikurung dalam ruang terbatas, mereka bisa mengalami stres berat.
“Stres akan meningkatkan emosi hewan dan bisa membuatnya lebih agresif. Banyak orang tidak menyadari bahwa otter adalah satwa liar yang membutuhkan lingkungan yang luas dan alami,” ujarnya.
Aditya juga menekankan pentingnya konservasi ek-situ, yaitu upaya penyelamatan dan pemeliharaan otter di luar habitat aslinya. Konservasi ini bisa membantu meningkatkan populasi otter tanpa harus mengambilnya langsung dari alam.
“Sampai saat ini, riset mengenai otter masih sangat minim. Tantangan yang ada adalah bagaimana melakukan skrining kesehatan, identifikasi penyakit, dan surveilans terhadap hewan ini. Ini penting untuk memastikan otter yang semakin populer sebagai hewan peliharaan eksotik tidak membawa dampak negatif bagi manusia maupun ekosistemnya,” tutupnya.
Dengan berbagai risiko yang ada, masyarakat diimbau untuk lebih bijak dalam memelihara hewan eksotik. Alih-alih menjadikannya peliharaan, melindungi mereka di habitat aslinya adalah langkah terbaik untuk memastikan keberlangsungan hidup satwa ini.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id