KILASJAVA.ID, SURABAYA – Ketegangan geopolitik AS-Iran mengguncang ekonomi global menuju pusaran ketidakpastian.
Melansir dari Reuteurs (22/6), analis Oxford mengungkap 3 skenario akibat perang.
Pertama adanya deeskalasi konflik, perhentian total produksi minyak di Iran, hingga penutupan selat hormuz.
Pakar Ekonomi Internasional Dr Unggul Heriqbaldi SE MSi MAppEc FEB UNAIR mengungkap dampak langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian Indonesia.
Sejak 13 Juni 2025, harga minyak mentah Brent meningkat 13% dan WTI naik 10%, Brent saat ini berada di kisaran USD 79 per barel.
“Meningkatnya eskalasi, termasuk serangan AS dan respon parlemen Iran yang menyetujui penutupan Selat Hormuz, maka sangat mungkin harga minyak dunia melampaui USD 100 per barel” ungkapnya.
Selat Hormuz menyuplai hampir 20% minyak mentah global, menjadikannya jalur energi paling krusial.
Bagi Indonesia yang masih menjadi net importer minyak dan LPG, akan berisiko menekan postur subsidi negara dan disrupsi rantai pasok global yang bergantung pada bahan bakar fosil.
“Jika harga minyak melampaui asumsi APBN 2025 sebesar USD 80–85 per barel, beban subsidi BBM dan LPG akan melonjak tajam,” imbuhnya.
Lebih jauh, efek domino konflik AS-Iran memicu tekanan nilai tukar, menurunnya arus investasi asing langsung (FDI), serta krisis utang eksternal.
“Negara berkembang seperti Indonesia, dengan impor energi tinggi dan eksposur utang luar negeri, berada dalam posisi rentan,” terangnya.
Dari sisi keuangan, naiknya harga energi mendorong inflasi global, yang direspons bank sentral negara maju dengan menaikkan suku bunga.
“Kondisi ini memperburuk beban utang luar negeri. Ketika nilai tukar tertekan dan biaya pinjaman meningkat, negara dengan cadangan devisa rendah dan fiskal lemah menghadapi potensi krisis utang eksternal, sebagaimana yang terjadi di Sri Lanka atau Pakistan,” terangnya.
Namun, situasi ini bisa menjadi momentum reflektif. Artinya, Pemerintah perlu memperkuat ketahanan domestik melalui strategi jangka panjang dan menengah.
Diantaranya menyiapkan program perlindungan sosial sebagai bantalan ekonomi bagi kelompok rentan, seperti program bantuan langsung tunai (conditional cash transfer).
Dari sisi energi, saat ini kebutuhan minyak 1,6 juta barel per hari, Indonesia hanya mampu produksi 600 ribu barel, sisanya bergantung pada impor.
“Perlu ada percepatan lifting minyak dalam negeri, efisiensi kilang, dan reformasi struktural sektor energi,” ungkapnya.
Ia menegaskan pentingnya value creation melalui hilirisasi sektor minyak, gas, mineral, dan batubara serta perluas bauran energi nasional melalui pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).
“Diversifikasi energi tidak hanya memperkuat ketahanan energi, tetapi juga mendorong dekarbonisasi. Pemerintah perlu mempercepat insentif investasi dan infrastruktur pendukung EBT,” pungkasnya.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id