KILASJAVA.ID, SURABAYA – Band alternatif asal Jakarta, Methosa, membuka rangkaian tur bertajuk “Wisata Orang Waras” dengan menggelar penampilan istimewa di Santorini Square, Surabaya.
Dalam konser pembuka ini, Methosa tak sekadar tampil sebagai musisi, melainkan hadir membawa pesan solidaritas, dukungan terhadap pelaku usaha kecil, serta penguatan suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
Kehadiran Methosa merupakan hasil kolaborasi antara Media Perjoeangan, FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) Surabaya, dan para seniman lokal.
Momen ini menjadi ruang bertemunya musik, perjuangan sosial, dan semangat kolektif untuk bangkit dalam menghadapi ketidakadilan.
“Kami sengaja mengundang Methosa karena kami percaya mereka mampu menyuarakan keresahan buruh dan rakyat kecil melalui musik,” ungkap Cak Anam, Kepala Biro Media Perjoeangan Surabaya.
Ia menambahkan bahwa kehadiran Methosa juga bertujuan memperkenalkan kawasan kuliner Santorini sebagai pusat ekonomi alternatif yang digerakkan oleh para pelaku UMKM.
Sebagian besar pelaku usaha di Santorini adalah mantan pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja secara sepihak, termasuk dari Tunjungan Crystal Hotel Surabaya.
Meskipun telah melakukan aksi demonstrasi, perjuangan mereka belum membuahkan hasil. Kini, mereka memilih untuk bertahan dengan berwirausaha kecil-kecilan.
“Dengan panggung seperti ini, kita ingin memberi ruang dan semangat bagi mereka yang berjuang mempertahankan martabat hidupnya,” kata Cak Anam.
“Methosa bukan hanya hadir sebagai pengisi acara, tapi sebagai bagian dari perjuangan.”
Selamat Raharjo, Ketua PC FSPMI Surabaya, turut menyampaikan apresiasi terhadap kontribusi Methosa. Ia menilai bahwa lagu-lagu yang dibawakan band ini memiliki kedalaman makna dan relevansi kuat terhadap perjuangan buruh.
“Lirik mereka sangat merepresentasikan semangat kami. Kami berharap Methosa bisa menjadi inspirasi dan penyambung suara-suara dari kalangan pekerja,” tuturnya.
Vokalis Methosa, Mansen Munthe, menyampaikan bahwa tur “Wisata Orang Waras” bertujuan untuk membangun dialog antara seniman dan komunitas akar rumput di sembilan kota yang dipilih secara simbolik.
“Kami ingin menyapa masyarakat secara langsung, berdialog dengan pelaku seni lokal, komunitas sosial, dan masyarakat yang selama ini menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa angka sembilan mewakili filosofi Nusantara. Kota-kota yang akan disambangi antara lain Mojokerto, Malang, Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Cirebon, Bandung, dan Bogor.
“Kami menyebutnya wisata kesadaran. Bukan sekadar panggung hiburan, tetapi juga ruang refleksi,” lanjut Mansen.
Meski tampil tanpa kehadiran personel tamu seperti Rina Nose, penampilan Methosa tetap menggugah. Lagu-lagu seperti “Bangun Orang Waras”, “Igual”, dan “Nasi Goreng” sukses menghidupkan suasana dan memantik semangat para hadirin. Musik mereka mengalir sebagai medium kritik sosial sekaligus harapan.
Methosa dikenal sebagai band yang mengusung tema-tema sosial dan perlawanan dalam karya-karyanya.
Mereka tidak hanya hadir di panggung-panggung komersial, tetapi aktif membangun ruang-ruang diskusi alternatif bersama komunitas buruh, seniman jalanan, dan pelaku perubahan sosial.
“Bagi kami, musik adalah alat perjuangan. Kami ingin menyampaikan bahwa menjadi waras di tengah absurditas zaman adalah bentuk perlawanan yang sah,” ucap Mansen.
Penampilan Methosa di Santorini tidak hanya menjadi pembuka tur, tetapi juga momentum solidaritas yang menunjukkan bahwa seni dan perjuangan bisa saling menyokong.
Tur ini menjadi bukti bahwa Methosa bukan sekadar band, melainkan suara dari mereka yang tak punya panggung.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id