KILAS JAVA, SURABAYA – Kisah inspiratif datang dari Achmad Syafiuddin, dosen muda Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).
Ia kembali masuk daftar 2 persen ilmuwan paling berpengaruh di dunia yang dirilis Stanford University bersama Elsevier BV pada 19 September 2025.
Bagi Syafiuddin, prestasi ini bukan yang pertama. Sejak 2021, ia sudah lima tahun berturut-turut tercatat dalam daftar bergengsi itu. Tahun ini, dari 209 peneliti asal Indonesia, ia menempati posisi ke-17.
Syafiuddin lahir di Madura dari keluarga sederhana. Ayahnya sudah tiada sejak kecil, sementara sang ibu berjuang hidup dengan berjualan jamu keliling. Meski hidup serba terbatas, semangat belajarnya tak pernah padam.
Lewat beasiswa Bidik Misi pada 2010, ia bisa kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan magister hingga doktor di Universiti Teknologi Malaysia.
Kini, di usia muda, ia dipercaya menjadi Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unusa. Ia juga diangkat sebagai Adjunct Professor di Saveetha Institute of Medical and Technical Sciences (SIMATS), India, kampus peringkat 26 dunia versi QS World University Rankings 2025.
Ada yang unik dari kiprahnya. Jika banyak peneliti memilih laboratorium modern, Syafiuddin justru menjadikan pesantren sebagai fokus penelitiannya.
Ia mendirikan Center for Environmental Health of Pesantren (CEHP), pusat riset pertama di Indonesia yang mengkaji kesehatan lingkungan di pesantren.
Hingga kini, ia sudah menghasilkan 124 publikasi ilmiah terindeks Scopus dengan H-Index 30. Namun menurutnya, yang terpenting bukanlah jumlah publikasi, melainkan manfaat nyata untuk masyarakat.
“Ilmu harus kembali ke masyarakat. Pesantren, sebagai bagian penting bangsa ini, berhak mendapat solusi atas masalah lingkungan yang mereka hadapi,” ujar Syafiuddin.
Dua inovasi lahir dari tangan dinginnya. Pertama, UNUSA-Water, teknologi sederhana berbahan alam yang mampu menjernihkan air kotor menjadi layak minum.
Alat ini sudah dipasang di 10 provinsi dan membantu 49.883 orang mendapatkan air bersih.
Kedua, UNUSA-Incinerator, alat pengolah sampah tanpa asap berbasis water spraying dan filtrasi. Inovasi ini telah dipakai di 3 provinsi dengan manfaat bagi 43.200 orang. Total, lebih dari 93 ribu orang sudah merasakan dampaknya.
Rektor Unusa, Prof Dr Ir Achmad Jazidie, M.Eng., menyebut prestasi Syafiuddin sebagai bukti bahwa kampus Unusa mampu melahirkan peneliti muda yang berkelas dunia sekaligus bermanfaat bagi masyarakat.
Nama Achmad Syafiuddin kini menjadi teladan bagi generasi muda Indonesia. Dari anak Madura dengan keterbatasan, ia membuktikan bahwa kerja keras, ilmu pengetahuan, dan keberpihakan pada masyarakat bisa membuka jalan menuju pengakuan dunia.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id