KilasJava.id, Surabaya – Polemik terkait penyesuaian service charge dan sinking fund (SCSF) di Apartemen Bale Hinggil (ABH) terus memanas hingga November 2024. Warga menuntut transparansi keuangan serta kebijakan yang adil dari pengelola, namun belum menemui titik terang.
Kisruh ini bermula pada 21 Desember 2020, ketika Building Manager pertama, Hesty Handayani SE, mengeluarkan surat pemberitahuan penyesuaian SCSF yang mulai berlaku per 1 Januari 2021. Langkah tersebut langsung menuai keberatan dari warga.
Pada 1 Februari 2021, warga bertemu dengan pihak pengelola, termasuk Hesty Handayani dan Oki Mochtar (yang kini menjabat sebagai Building Manager ketiga).
Dalam pertemuan itu, disepakati warga tetap membayar sesuai harga lama hingga diadakan musyawarah transparansi.
Kekurangan bayar tidak dihitung sebagai denda. Namun, selisih tetap muncul dalam sistem keuangan yang menurut BM kedua, Yusuf, adalah masalah teknis.
Masalah kembali memanas pada 19 Januari 2024, ketika BP ABH melayangkan surat peringatan terkait rencana pemutusan akses bagi warga yang belum membayar sesuai tarif baru.
Respons warga dilakukan melalui pertemuan pada 25 Januari 2024, yang menghasilkan keputusan bahwa pemutusan akses hanya berlaku bagi mereka yang tidak membayar sama sekali.
Namun, BP ABH melanggar kesepakatan pada 13 Februari 2024 dengan memutus akses warga yang membayar tarif lama, tepat sehari sebelum Pemilu 2024.
Akibatnya, warga mengadakan pertemuan pada 15 Februari 2024 dan disepakati akses dibuka kembali, dengan rencana musyawarah transparansi dijadwalkan pada 24 Februari 2024.
Sayangnya, pihak pengelola tidak hadir dalam beberapa pertemuan berikutnya, termasuk yang dijadwalkan pada 9 Maret 2024 dengan pendampingan dari Kapolsek Sukolilo dan Danramil Sukolilo.
Langkah Warga ke DPRKPP
Pada 7 Maret 2024, warga melapor ke Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPRKPP) untuk mediasi.
Namun, pihak BP ABH dan PT Tata Kelola Sarana (TKS) kembali absen tanpa alasan jelas.
Hingga 18 November 2024, musyawarah transparansi belum terlaksana, meskipun pengelola kembali melayangkan surat peringatan pada 19 November 2024, yang disertai ancaman pemutusan akses.
Warga merasa diintimidasi dan berencana melaporkan tindakan ini ke pihak berwenang.
Kristianto, perwakilan Bale Hinggil Community, mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap pengelola.
“Ini sudah tidak manusiawi. Perwali jelas melarang tindakan seperti ini, tetapi pengelola seperti kebal hukum. Kami hanya menuntut transparansi keuangan yang jelas,” ujarnya.
Kristianto juga menyoroti penggunaan Perjanjian Bakal Jual Beli (PBJB) oleh developer, yang dianggap lebih menguntungkan pihak pengelola dan merugikan konsumen.
“Selama ini mereka berlindung di balik PBJB tanpa memberikan solusi. Yang ada hanya tekanan terhadap kami sebagai konsumen,” tambahnya.
Warga berharap DPRKPP dapat menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik ini secara adil.
Transparansi keuangan dinilai menjadi langkah kunci dalam menyelesaikan polemik panjang antara warga dan pengelola Apartemen Bale Hinggil.