Pada rekayasa jaringan tulang, scaffold tulang berfungsi sebagai template dan tempat interaksi sel serta membentuk matriks ekstraseluler tulang.
Scaffold tulang yang ada di pasaran saat ini adalah BHA (serbuk hidroksiapatit (HA) dari tulang sapi) yang pembuatannya di Teaching Industry UNAIR. Saat ini, produksinya masih rendah daripada dengan impor pemerintah.
“Untuk memenuhi kebutuhan scaffold dan mengurangi ketergantungan pada impor, perlu upaya untuk memproduksi scaffold sendiri. Bisa dengan menggunakan bahan alam lokal, yaitu dengan membuat scaffold Hidroksiapatit (HA) dan berbagai macam biopolimer,” jelas Prof Aminatun.
Scaffold tulang dapat terbuat dari berbagai macam biomaterial. Peluang untuk membuat scaffold tulang HA dengan penambahan biopolimer dari bahan baku lokal sangatlah besar. Sebab, HA dapat terbuat dari bahan limbah seperti tulang sapi, tulang sotong, berbagai macam jenis cangkang kerang dan koral.
“Pemanfaatan HA dari berbagai limbah bahan alami salah satunya adalah tulang sotong dan inovasinya dengan penambahan biopolimer merupakan langkah strategis. Terutama untuk memenuhi kebutuhan scaffold tulang dalam menyelesaikan problematika fraktur tulang,” papar Prof Aminatun.
Sedangkan biopolimer seperti kitosan dapat diperoleh dari limbah cangkang udang dan kepiting.
Sementara kolagen dan gelatin dapat berasal dari tulang sapi serta kulit maupun sisik ikan. Sumber daya ini tersedia dalam jumlah besar di perairan Indonesia, menjadikannya bahan baku yang ekonomis dan berkelanjutan.
Dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dan teknologi lokal, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain global dalam industri biomaterial.
Inovasi ini tidak hanya memenuhi kebutuhan kesehatan dalam negeri. Akan tetapi, juga menjadi bukti nyata kemandirian bangsa dalam memanfaatkan potensi alam untuk kesejahteraan masyarakat.