KilasJava.id, Surabaya – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berencana mengadakan kembali Ujian Nasional (UN) dengan sistem evaluasi yang berbeda dari sebelumnya.
Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa UN yang baru akan mengusung metode yang lebih relevan dan adaptif.
Namun, Guru Besar dan Pakar Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Tuti Budirahayu, mengingatkan pentingnya kajian menyeluruh sebelum wacana ini direalisasikan.
“Pemerintah perlu mengkaji urgensi pemberlakuan kembali Ujian Nasional ini secara komprehensif di berbagai wilayah di Indonesia. Kajian juga harus mencakup tren hasil belajar siswa sejak 2021 hingga 2024, pasca penghapusan UN,” tegasnya.
Prof Tuti menilai bahwa UN model lama tidak lagi relevan sebagai alat evaluasi pendidikan nasional. Ia mengkritik pendekatan tersebut karena lebih banyak membawa dampak negatif bagi siswa, guru, dan sekolah.
“UN model lama adalah bentuk kekerasan simbolik dan regimentasi yang menekan peserta didik. Nilai ujian akhirnya bias dan subyektif, karena parameter keberhasilan pendidikan hanya diukur dari rata-rata nilai UN yang tinggi,” ungkap Prof Tuti.
Ia juga menambahkan bahwa pendekatan tersebut membuat siswa lebih fokus pada penguasaan soal secara instan melalui bimbingan belajar, alih-alih mendalami proses berpikir kritis.
“ Ujian Nasional model lama bahkan hampir menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah,” ujarnya.
Terkait rencana pelaksanaan kembali UN, Prof Tuti menyoroti tantangan besar yang masih dihadapi dunia pendidikan Indonesia, terutama pemerataan kualitas pendidikan.
“Jika UN akan diadakan kembali, maka jangan lagi menggunakan cara-cara lama. Penyelenggaraannya harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing sekolah,” ujarnya.
Prof Tuti juga mengingatkan pentingnya konsistensi kebijakan pendidikan.
“Perubahan kebijakan setiap pergantian menteri menjadi hambatan dalam membangun sistem pendidikan yang kokoh. Indonesia memerlukan blueprint pendidikan yang baik dan berdurasi panjang,” jelasnya.
Sebagai penutup, Prof Tuti menegaskan bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari skor ujian formal.
“Parameter keberhasilan belajar siswa bisa terukur dari berbagai dimensi. Perkuat habitus belajar siswa melalui program literasi dan pembelajaran yang menyenangkan di kelas. Dengan begitu, siswa dapat belajar tanpa tekanan atau paksaan,” pungkasnya.