KilasJava.id, Surabaya – Geliat kehidupan Kota Surabaya ketika malam semakin menghingar. Pertanda kota metropolis ini tak pernah tidur dalam dekapan malam.
Lampu-lampu kota berkelipan menghiasi tiap sudut kota, menjadi pendukung setia dalam memperindah kota.
Di sudut sebuah warung kopi Ardi duduk sembari memainkan gadgetnya. Pikirannya menerawang tentang kejadian demi kejadian yang selama ini selalu ia liput.
Ardi terkadang berpikir, bahwa kehidupannya sebagai seorang wartawan hanya sebagai pelengkap di tengah ketatnya para pencari kerja yang menginginkan hidup layak.
Tanpa ia sadari profesi sebagai kuli tinta ini sudah menempanya menjadi pribadi yang mempunyai pandangan berbeda dari kebanyakan.
Tapi semakin ia mendalami dunia jurnalis, semakin ia merasa kurang segalanya.
Ardi merasa pengetahuannya tentang jurnalis masih teramat dangkal, sedangkal pikiran orang-orang yang merasa dirinya paling pintar dan paling “wah”.
Sekelumit pertanyaan terkadang melintas di pikiran Ardi, yang selalu menghantui setiap langkahnya dalam melakukan peliputan.
“Apakah aku sudah benar ya menjalani profesi ini, apakah pantas aku menyandang gelar wartawan, semakin hari aku semakin merasa ada yang kurang,” prolognya.
Pertanyaan inilah yang selalu menggelayuti pikiran Ardi, di samping pertanyaan-pertanyaan lainnya yang terasa semakin mengganjal, menghujam jauh di dasar hatinya.
Sepanjang perjalanannya dalam menekuni dunia jurnalis, ia bahkan telah banyak menemukan sesama rekan wartawan yang kadang menurutnya salah jalan.
Terkadang mereka hanya sekedar mempunyai id card wartawan dan dibawa kemanapun untuk menunjukkan bahwa mereka adalah seorang wartawan.
Dengan keangkuhan dan kesombongan yang membuncah mereka keluar masuk kampung, gang demi gang mereka telusuri hanya untuk mencari kesalahan para oknum pejabat yang bisanya hanya makan uang rakyat.
Ketika mereka sudah menemukan bukti dan data, lantas mereka menemui si pejabat. Dan…hal yang sudah biasa pun terjadi, terjadi transaksi tawar menawar, yang pada akhirnya berujung pada jalan damai. Amboiii…
Ardipun berpikir apakah tindakan ini dibenarkan? Tidak, menurutnya tindakan itu tidak dibenarkan namun tidak juga harus disalahkan.
Karena menurut Ardi, pemikiran dari masing-masing pribadi wartawan jelas berbeda. Itu menjadi hak mereka, mau menjalani profesinya sebagai seorang wartawan yang berpijak pada kode etik atau akan berpaling sejauh mungkin demi mendapatkan keuntungan sesaat.
“Ahhh…., terkadang memang aku harus berpikir gila, agar mengerti profesi ini,” kesahnya. ( Bersambung).