KilasJava.id, Surabaya – Perkembangan teknologi komunikasi dan komputasi telah membawa manusia ke era informasi, di mana batasan ruang dan waktu semakin kabur.
Perpustakaan yang dahulu menjadi pusat pengetahuan kini menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan eksistensinya di tengah arus digitalisasi.
Menanggapi fenomena ini, Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Koko Srimulyo, Drs., M.Si., mengusulkan konsep rekonstruksi perpustakaan.
Gagasan ini ia paparkan dalam orasi ilmiahnya pada pengukuhan guru besar di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C UNAIR, Kamis, 27 Februari 2025.
“Perpustakaan yang hanya berdiam diri dan tidak mau berubah niscaya akan digilas oleh zaman. Dalam rangka menghadapi tantangan di era informasi, konsep heterotopia menjadi tawaran penting,” ujar Prof. Koko.
Heterotopia merupakan kebalikan dari utopia. Jika utopia menggambarkan tatanan ideal yang belum tentu nyata, heterotopia justru merujuk pada ruang nyata yang dapat dihadirkan secara berbeda dan inovatif.
“Menghadirkan heterotopia ke dalam perpustakaan berarti menata kembali perannya dalam masyarakat sekaligus membongkar tradisi lama yang membosankan. Ini adalah upaya untuk merekonstruksi perpustakaan agar lebih relevan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa konsep heterotopia dapat diterapkan dengan menjadikan perpustakaan sebagai ruang yang menggabungkan pengetahuan dan hiburan dalam satu tempat.
“Perpustakaan harus menjadi pilihan utama bagi mahasiswa, orang tua, maupun komunitas ketika ingin mengadakan kegiatan. Ini bukan sekadar tempat membaca, tetapi ruang interaksi yang menarik,” katanya.
Prof. Koko juga menekankan pentingnya manajemen perubahan yang berkelanjutan untuk merealisasikan konsep ini.
“Perubahan tidak bisa dilakukan hanya oleh satu atau dua orang. Dibutuhkan koalisi pendukung ide perubahan, serta visi strategis yang jelas dan terukur agar dapat diterima oleh semua pihak,” ungkapnya.
Selain perbaikan internal, ia juga menyoroti perlunya kerja sama yang lebih luas untuk memperkuat citra perpustakaan di era digital.
“Perpustakaan di Indonesia bisa berekspansi dengan melakukan re-branding melalui media non-konvensional yang lebih diminati masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan menggandeng sutradara film, rumah produksi musik, atau sanggar tari dan teater,” tutupnya.
Dengan konsep heterotopia dan manajemen perubahan yang berkelanjutan, perpustakaan dapat bertahan dan berkembang sebagai pusat pengetahuan yang relevan di era digital.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id