KilasJava.id, Surabaya – Setiap hari, jutaan pengguna internet di Indonesia hidup dalam ancaman pencurian data, peretasan akun, dan penipuan online. Meski ancaman keamanan digital semakin nyata, kesadaran dan perlindungan data di Indonesia masih tertinggal.
Dr. Maryamah S.Kom, Dosen Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga, mengidentifikasi tiga faktor utama yang membuat kejahatan siber terus berkembang di Indonesia: lemahnya regulasi perlindungan data, rendahnya kesadaran masyarakat, dan lambatnya adopsi teknologi keamanan terbaru.
“Justru individu biasa yang sering menjadi target karena minimnya kesadaran akan keamanan digital. Semakin mudah seseorang memberikan informasi pribadinya di internet, semakin besar pula peluang mereka menjadi korban,” jelasnya.
Mengutip survei Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Katadata Insight Center (KIC) pada 2022, Maryamah menyoroti statistik mengkhawatirkan tentang literasi keamanan digital masyarakat Indonesia:
– Hanya 24,1% pengguna internet yang mampu membedakan email berisi malware atau phishing
– 32,3% tidak mengetahui cara menggunakan aplikasi antivirus
– Hanya 34,3% yang memahami bagaimana melaporkan penyalahgunaan di media sosial
Angka-angka ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia belum memiliki keterampilan dasar untuk melindungi diri dari serangan digital.
“Phishing menjadi salah satu metode yang paling sering digunakan peretas untuk mencuri data korban,” kata Maryamah. “Dalam skema ini, pelaku berpura-pura menjadi lembaga resmi seperti bank atau marketplace untuk mengelabui korban agar memberikan informasi sensitif mereka.”
Menurut Dr. Maryamah, langkah-langkah sederhana dapat memberikan perlindungan signifikan bagi pengguna internet:
“Masyarakat perlu lebih berhati-hati dalam berbagi informasi pribadi di internet, menggunakan kata sandi yang lebih kuat, serta selalu memeriksa sumber sebelum mengklik tautan atau mengunduh file. Ini hal-hal kecil, tapi sangat berpengaruh dalam mencegah serangan siber,” jelasnya.
Lemahnya regulasi juga berkontribusi terhadap maraknya kejahatan siber di Indonesia. Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), implementasi dan pengawasannya masih jauh dari ideal.
“Di banyak negara lain, kebocoran data ditanggapi dengan sangat serius dan bisa berujung pada sanksi besar bagi oknum yang lalai dalam melindungi informasi pelanggan mereka,” kata Maryamah.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami serangkaian kebocoran data besar yang melibatkan jutaan informasi pribadi pengguna, mulai dari data pelanggan e-commerce, aplikasi pinjaman online, hingga informasi pengguna layanan telekomunikasi. Data-data tersebut kemudian diperjualbelikan di dark web.
“Saat ini, kita butuh aturan yang lebih tegas dan hukuman yang benar-benar bisa memberikan efek jera,” tegas Maryamah.
Dengan meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia, kebutuhan akan literasi keamanan digital dan regulasi yang lebih kuat menjadi semakin mendesak untuk melindungi masyarakat dari ancaman siber yang terus berkembang.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id