Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Terkini

Kekerasan Seksual dan Penyalahgunaan Kekuasaan di Lingkungan Akademik

28
×

Kekerasan Seksual dan Penyalahgunaan Kekuasaan di Lingkungan Akademik

Sebarkan artikel ini
kekerasan seksual
Prof Dra Myrtati Dyah Artaria MA PhD, Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Airlangga (UNAIR)

KilasJava.id, Surabaya – Kasus kekerasan seksual kembali mencuat ke permukaan, dan ironisnya, pelaku sering kali berasal dari kalangan terdidik yang menjadi figur panutan publik.

Hal ini disoroti langsung oleh Prof Dra Myrtati Dyah Artaria MA PhD, Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Airlangga (UNAIR).

Example 300x600

“Kalau figur panutan menjadi pelaku kekerasan seksual, itu kami sudah aware dari awal. Jadi bukan hal mengejutkan bagi kami yang sudah lama berkecimpung dalam isu ini,” ungkap Prof Myrta, dosen Antropologi FISIP UNAIR.

Menurut Prof Myrta, kekerasan seksual kerap terkait dengan posisi sosial dan pesona personal seseorang.

Orang dengan jabatan atau reputasi tinggi secara alami memiliki daya tarik tersendiri, baik karena kekaguman, rasa hormat, hingga keinginan untuk dekat atau belajar darinya.

“Ketika hal ini terjadi, pertanyaannya adalah: apakah orang tersebut bisa menahan diri atau justru memanfaatkan kesempatan untuk berbuat pelanggaran?” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa para pelaku umumnya memiliki keleluasaan karena jabatan tinggi.

Selain itu, faktor penyebab lain meliputi penyalahgunaan kekuasaan, dominasi budaya patriarki, lemahnya pendidikan karakter, hingga kurangnya pengawasan dan potensi trauma psikologis pada pelaku.

“Sering kali pelaku mencari korban yang punya riwayat trauma, karena lebih mudah dimanipulasi secara emosional,” tambahnya.

Prof Myrta menyoroti ketakutan korban untuk melaporkan, terutama jika pelaku adalah tokoh publik yang punya citra baik.

Korban kerap khawatir dianggap memfitnah, menjadi sasaran balik, atau mendapatkan stigma sosial.

“Korban sering disalahkan. Mulai dari dianggap mengundang, tidak menjaga diri, hingga dicap tidak suci. Apalagi jika korban punya ketergantungan ekonomi atau akademik pada pelaku,” jelasnya.

Terkait kasus yang viral di media sosial, Prof Myrta menyatakan efeknya lebih banyak merugikan korban.

“Viral memang bisa mendorong aparat bergerak cepat, tapi korban bisa mengalami tekanan mental, serangan balik, bahkan ancaman. Belum lagi, respons netizen bisa sangat tidak terduga,” tegasnya.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan profesi yang tercoreng, Prof Myrta menegaskan perlunya peran kolektif.

“Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini. Butuh kolaborasi antara individu, keluarga, lembaga, dan masyarakat untuk membangun budaya saling menghormati.”

Ia juga mengapresiasi dukungan institusional seperti kebijakan dan layanan pendampingan dari Satgas PPKPT UNAIR, namun menekankan tantangan terbesarnya tetap pada keberanian korban untuk bicara dan kepekaan publik dalam memberi dukungan.

***Kunjungi kami di news google KilasJava.id

Example 468x60 Example 468x60 Example 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *