KilasJava.id, Surabaya – Usulan sejumlah daerah untuk memperoleh status sebagai daerah istimewa belakangan menjadi sorotan publik.
Setidaknya enam daerah, termasuk Solo, mengajukan permohonan tersebut. Menanggapi fenomena ini, Dosen Administrasi Publik Universitas Airlangga, Putu Aditya Ferdian Ariawantara, menilai bahwa pemberian status istimewa harus dikaji secara cermat dan menyeluruh.
“Banyaknya daerah yang mengajukan status daerah istimewa perlu dipandang kritis dari perspektif administrasi publik. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan kecemburuan antardaerah yang bisa mengganggu stabilitas sosial serta efektivitas tata kelola pemerintahan,” ujar Putu.
Putu menekankan bahwa permintaan status istimewa kerap tidak didasari kebutuhan riil, melainkan pertimbangan historis atau politis.
Tanpa justifikasi yang kuat, hal ini berisiko menambah beban fiskal negara tanpa menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat atau efisiensi birokrasi.
“Maka dari itu, pemerintah dan DPR harus berhati-hati dan melakukan kajian mendalam agar tidak memicu permintaan serupa yang dapat memperumit sistem otonomi daerah di Indonesia,” lanjutnya.
Secara teori, status istimewa memberi daerah kewenangan lebih besar untuk mengatur kepentingan masyarakat sesuai inisiatif lokal.
Namun, menurut Putu, efektivitas implementasinya sangat bergantung pada berbagai faktor, seperti kualitas tata kelola pemerintahan, partisipasi publik, serta koordinasi pusat dan daerah.
Ia membandingkan dua contoh: Yogyakarta dan Papua. Yogyakarta dinilai sukses mengelola keistimewaannya dengan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan.
Sementara itu, otonomi khusus di Papua belum menunjukkan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat asli, meski alokasi dana pendidikan tinggi.
“Penelitian menunjukkan bahwa implementasi dana otonomi khusus di Papua belum sepenuhnya efektif. Ini menjadi bukti bahwa status istimewa tidak serta-merta menjamin keberhasilan pembangunan,” jelasnya.
Putu merekomendasikan agar pemerintah melakukan kajian komprehensif terhadap setiap usulan daerah istimewa, mencakup aspek historis, budaya, ekonomi, hingga politik lokal.
Kajian ini sejalan dengan amanat Pasal 18 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pemberian status istimewa.
Lebih lanjut, mekanisme pengisian jabatan dan tata kelola daerah istimewa juga harus jelas untuk menghindari konflik dan ketidakpastian, sebagaimana telah diterapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Partisipasi aktif masyarakat juga menjadi kunci penting.
“Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara kewenangan khusus dengan persatuan nasional melalui koordinasi dan pengawasan yang kuat. Dengan begitu, tujuan pembangunan dan keadilan sosial bisa tercapai tanpa mengorbankan integritas NKRI,” pungkas Putu.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id