Dari perkenalan itu, tumbuh sesuatu yang lebih besar dari bisnis.
“Ini bukan sekadar kopi. Ini tentang perubahan. Tentang memilih hidup yang baru,” kata David dalam peluncuran malam itu.
Ramu 1966 lahir dari titik nadir. Angka 1966 bukan hanya penanda tahun lahir, melainkan titik tolak, pengingat bahwa semua bermula dari seseorang yang pernah menjadi api, tapi kini memilih menjadi air.
Umar tak membantah masa lalunya. Ia tidak memolesnya dengan kata-kata manis.
Justru ia letakkan itu di meja, bersebelahan dengan cangkir dan sendok kecil. Terlihat, terasa, namun tak lagi melukai.
“Kalau dulu pahit itu menghancurkan, sekarang pahit ini menyembuhkan,” ujarnya, tak seperti slogan, tapi seperti mantra yang ia ucapkan pada dirinya sendiri setiap kali menyeduh.
Kopi ini bukan upaya melupakan. Justru ia adalah cara mengingat dengan cara yang lebih bijak.
Umar tahu tak semua orang bisa menerima kehadirannya. Ia tidak menuntut simpati.
Tapi ia percaya bahwa setiap manusia, bahkan yang paling gelap sekalipun, punya kemungkinan untuk menyala lagi, dengan cahaya baru. Bukan dentuman, tapi aroma.
Kini Ramu 1966 hadir perdana di Hedon Estate. Bukan di medan perang, tapi di meja-meja kecil tempat orang duduk sambil berbicara pelan.
Bukan dengan bom, tapi dengan uap kopi yang perlahan naik ke langit-langit ruangan.
Umar bermimpi membawa kopi ini lebih jauh, ke kafe-kafe lain, ke luar kota, bahkan ke luar negeri.
Bukan untuk mencari untung, tapi untuk menunjukkan bahwa luka bisa diolah menjadi rasa.
Mungkin tak semua bisa lupa. Dan itu hak yang tak bisa dibantah. Tapi di negeri yang pernah pecah oleh amarah, barangkali satu-satunya cara untuk tumbuh adalah memberi ruang bagi mereka yang benar-benar ingin berubah.
Di dasar cangkir itu, tersisa ampas. Gelap, pahit, dan berat. Tapi di atasnya, aroma itu tetap hangat.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id