Asesmen ini bersifat berulang dan dievaluasi dalam rentang waktu satu tahun, sebuah praktik yang telah diimplementasikan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Ukai juga memaparkan hasil studi terbaru di Jepang yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan gangguan spektrum autisme (ASD), gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD), serta gangguan perkembangan neurologis lainnya mengalami penuaan fisik lebih dini, yakni mulai dari usia 40 tahun.
Hal ini menjadi kekhawatiran mendalam bagi orang tua di Jepang dan sempat menyebabkan peningkatan angka bunuh diri yang melibatkan orang tua dan anak berkebutuhan khusus.
“Kami di Jepang telah melalui masa-masa sulit itu. Saya berharap hal serupa tidak terjadi di Indonesia. Karena itu, penting bagi kita semua untuk menyiapkan sistem pendidikan yang inklusif dan ilmiah sejak sekarang,” kata Ukai dengan penuh keprihatinan.
Dalam sesi interaktif, Ukai juga memperagakan berbagai metode dan alat bantu pembelajaran bagi ABK.
Peserta diajarkan cara menghadapi anak dengan kebutuhan khusus secara praktis, mulai dari teknik komunikasi, penggunaan media pembelajaran sensorik, hingga metode pelatihan motorik halus.
Rektor Unusa, Prof. Achmad Jazidie, dalam sambutannya menekankan pentingnya penghormatan terhadap ABK dan pemahaman cara berkomunikasi yang tepat dengan mereka.
“Kami di Unusa percaya bahwa pendidikan harus menjangkau semua kalangan, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Karenanya, membekali mahasiswa dengan pendekatan ilmiah dan humanis terhadap ABK adalah investasi sosial jangka panjang.”
Kolaborasi antara Unusa dan Tasuc Corporation ini menjadi langkah awal dalam penguatan kapasitas tenaga pendidik serta perluasan wacana pendidikan inklusif berbasis ilmiah di Indonesia.
Modul J*sKeps diharapkan mampu menjadi salah satu referensi utama dalam reformasi pendidikan inklusi, baik di tingkat perguruan tinggi, sekolah dasar, maupun masyarakat umum.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id