Example 728x250
Artikel

Warna dan Demokrasi Digital: Analisis Brave Pink dan Hero Green

55
×

Warna dan Demokrasi Digital: Analisis Brave Pink dan Hero Green

Sebarkan artikel ini

KILASJAVA.ID, SURABAYA – Fenomena warna dalam penyampaian aspirasi publik di Indonesia menghadirkan dinamika baru yang menarik.

Dua warna yang mencuat, yakni brave pink dan hero green, tidak hanya menjadi penanda visual semata, tetapi juga sarat makna kultural, gender, hingga politis.

Example 300x600

Prof Diah Ariani Arimbi SS MA PhD, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga sekaligus pakar kajian budaya dan gender, menegaskan bahwa warna adalah teks.

Dalam pandangannya, warna selalu berbicara dalam konteks tertentu, membentuk identitas, sekaligus mengartikulasikan resistensi sosial.

Menurut Prof Diah, warna pink pada mulanya dilekatkan pada konsep pink job atau pekerjaan yang secara tradisional dianggap feminim, seperti guru, perawat, sekretaris, dan pekerja sosial.

Pekerjaan tersebut kerap dipandang kurang strategis dibanding posisi pengambil keputusan yang didominasi laki-laki.

Namun, dalam perkembangan aksi sosial terkini, makna pink mengalami apropriasi. Brave pink hadir sebagai simbol keberanian, terutama melalui peran signifikan kaum ibu dalam demonstrasi.

Warna yang sebelumnya diasosiasikan dengan kelembutan kini berubah menjadi lambang perlawanan dan kekuatan politis.

Berbeda dengan pink yang banyak diasosiasikan dari Barat, hijau memiliki akar budaya lokal.

Dalam folklor Jawa, hijau erat kaitannya dengan kesuburan, kekuatan, dan kekuasaan spiritual, termasuk figur legendaris Nyi Roro Kidul.

Dalam konteks kontemporer, hijau berkembang menjadi hero green. Fenomena ini diperkuat oleh kehadiran para pengemudi ojek online berseragam hijau dalam berbagai aksi demonstrasi.

Tragedi seorang pengemudi yang tewas terlindas kendaraan taktis bahkan semakin mempertegas hijau sebagai simbol solidaritas rakyat kecil dan keberanian kolektif.

“Hijau kini bukan hanya lambang alam, melainkan juga heroisme dan penyelamatan,” jelas Prof Diah.

Prof Diah menekankan bahwa masyarakat modern hidup dalam era visual, di mana warna bekerja lebih cepat dan universal dibanding simbol lain. Fenomena Add Yours di Instagram dengan nuansa brave pink dan hero green serta tuntutan 17+8, menurutnya, menjadi bukti bahwa generasi digital native menggunakan ruang daring sebagai arena politik alternatif.

“Hal ini mencerminkan lahirnya praktik baru demokrasi digital, di mana warna menjadi bahasa politik yang efektif,” tambahnya.

Dalam sejarah penyampaian aspirasi, warna bukan hal baru. Gerakan #IndonesiaGelap pernah menggunakan resistance blue, bahkan bendera One Piece dijadikan simbol populer dalam mobilisasi massa.

Pola tersebut menegaskan bahwa setiap gerakan membutuhkan representasi visual yang mudah dikenali sekaligus menggerakkan publik.

Meski demikian, efektivitas simbol warna sangat bergantung pada daya tahannya dalam ingatan kolektif.

“Jika publik merawat maknanya, ia dapat bertahan lama sebagai simbol abadi. Jika tidak, ia cepat tergantikan oleh simbol lain,” jelas Prof Diah.

Dari perspektif sosial-humaniora, brave pink dan hero green menunjukkan dinamika makna budaya. Warna yang sebelumnya dilekatkan pada kelemahan kini berubah menjadi bahasa politik resistensi.

“Apropriasi ini mengingatkan bahwa simbol visual tidak pernah statis. Mereka lahir, berubah, dan berfungsi sesuai konteks sosial yang melingkupinya. Secara semiotik, warna bukan sekadar warna, tetapi media komunikasi yang menyampaikan pesan politis maupun kultural,” pungkas Prof Diah.

***Kunjungi kami di news google KilasJava.id

Example 468x60 Example 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *