KilasJava.id, Surabaya – Malam turun pelan di Surabaya, Selasa (3/6/2025). Di sebuah sudut tenang Hedon Estate, aroma rempah naik perlahan dari cangkir-cangkir yang mengepul.
Bukan sekadar kopi yang disajikan malam itu, melainkan kisah panjang tentang kehancuran dan harapan.
Di tengah ruang elegan, berdirilah seorang pria yang dahulu membuat dunia terjaga oleh dentuman.
Kini ia datang membawa damai dalam pahit yang berbeda. Namanya Umar Patek. Dahulu buronan, kini peracik kopi.
Dulu ia dirapal dalam doa takut. Kepalanya dihargai sejuta dolar Amerika.
Dunia mengenalnya sebagai Hisyam bin Alizein, otak serangkaian ledakan yang membakar malam Bali dan Natal Jakarta.
Murid dari teroris legendaris, anggota jaringan Jemaah Islamiyah, yang ditangkap, diadili, dan dihukum dua dekade penjara.
Namun malam itu, ia tak lagi bicara lewat mesiu, melainkan lewat seduhan bernama “Kopi Ramu 1966”, By Umar Patek.
“Dulu aku dikenal karena hal yang menyakitkan dunia. Tapi kini, aku memilih jalan lain. meramu rasa, menyeduh damai,” ucap Umar dalam video peluncuran, suaranya bening, nyaris seperti doa.
Kata “ramu”, jika dibaca terbalik, adalah “umar”. Sebuah permainan aksara yang menyimpan luka dan niat baru.
Dulu ia meramu bahan peledak. Kini ia meramu cengkeh, kapulaga, jahe, dan robusta.
Tak mudah menjadi Umar Patek yang hari ini. Setelah keluar dari penjara melalui pembebasan bersyarat pada Desember 2022, dunia tak serta-merta menyambutnya.
Ia pernah mengetuk pintu-pintu perusahaan, melamar kerja dengan rendah hati. Tapi masa lalu menolak pergi, dan stigma tetap berdiri di depan gerbang.
Ia pun kembali ke rumah, menyeduh kopi untuk istri, teman, dan tetangga. Barangkali itu caranya mencicil maaf pada dunia yang sempat ia lukai.
Racikannya sederhana, tapi jujur. Seperti lelaki yang sedang mencari wajahnya sendiri di cermin yang retak.
Hingga suatu hari, secangkir kopi itu tiba di tangan drg. David Andreasmito, pemilik Hedon Estate.