KilasJava.id, Surabaya – Era digital telah merevolusi berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali dunia sastra Indonesia. Sastra siber karya sastra yang lahir dan berkembang melalui media digital kini menjadi fenomena yang tak terbendung dalam perkembangan sastra tanah air.
Rima Firdaus SHum MHum, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), memaparkan bahwa sastra siber pertama kali muncul di Indonesia pada dekade 1990-an.
Tonggak penting dalam perkembangan ini ditandai dengan kemunculan karya puisi siber berjudul “Grafiti Gratitude” (2001) dan “Cyberpuitika” (2002) yang diprakarsai oleh Yayasan Multimedia Sastra (YMS).
“Sastra siber ini kadang disebut sebuah perlawanan terhadap sastra koran dan bayang-bayang penerbit besar yang melegitimasi label pengarang sastra,” jelas Rima, mengungkap latar belakang kemunculan genre sastra ini.
Sebelum era digital, proses penerbitan karya sastra konvensional memerlukan waktu dan prosedur yang cukup panjang. Penyuntingan yang ketat seringkali menyebabkan banyak karya gagal terbit karena tidak memenuhi standar kriteria penerbit.
Hadirnya sastra siber telah membuka pintu demokratisasi dalam dunia sastra. Para pengarang kini memiliki kebebasan untuk mempublikasikan karyanya secara langsung melalui berbagai platform digital seperti blog, forum daring, atau media sosial tanpa harus melewati “gatekeeper” tradisional.
Namun, Rima mengatakan bahwa kebebasan ini juga memicu perdebatan di kalangan masyarakat sastra. “Tidak sedikit pengarang yang tidak menyepakati awal mula lahirnya sastra siber karena dianggap kurang berkualitas, tetapi barang kali selama bertahun-tahun kini banyak pengarang yang mulai memanfaatkan media sosial dan menyediakan ruang ini sebagai bentuk komunikasi dengan pembaca,” ujarnya.
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia tersebut menekankan bahwa perbedaan mendasar antara sastra siber dan sastra konvensional tidak hanya terletak pada media publikasinya, tetapi juga pada peran pembaca.
Dalam sastra siber, pembaca berperan sebagai subjek aktif yang dapat berinteraksi langsung dengan karya dan pengarangnya. Mereka dapat memberikan umpan balik secara real-time dan bahkan memengaruhi perkembangan cerita. Sebaliknya, dalam sastra konvensional, pembaca cenderung menjadi subjek pasif yang hanya menerima karya dalam bentuk finalnya.
“Hal ini yang menurut saya paling menarik, kalau ada karya sastra lahir sebelum era sastra siber maka interaksi pembaca dan pengarang akan tercipta melalui ruang-ruang diskusi langsung, seperti bedah buku, jumpa penggemar, dan sejenisnya. Namun, kini tidak sulit berkomentar langsung pada akun media sosial pengarang, bahkan pembaca dapat berinteraksi aktif, saling berbalas pesan, dan pengarang dapat bebas bertanya kepada pembaca mengenai karyanya,” ungkap Rima.
Fenomena sastra siber menandai pergeseran paradigma dalam ekosistem sastra Indonesia. Di satu sisi, kemudahan akses dan publikasi telah mendorong lebih banyak orang untuk berkarya dan mengapresiasi sastra. Di sisi lain, tantangan baru muncul terkait kualitas, otentisitas, dan keberlanjutan karya sastra di era digital.
Terlepas dari pro dan kontra, sastra siber telah membuka ruang baru bagi ekspresi kreatif dan interaksi sastra yang lebih demokratis. Dengan terus berkembangnya teknologi digital, sastra siber diprediksi akan semakin memperkaya khazanah sastra Indonesia dengan bentuk-bentuk eksplorasi baru yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id