KilasJava.id, Surabaya – Konflik tenurial yang melibatkan masyarakat lokal, perusahaan, dan pemerintah tidak hanya menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi, tetapi juga berdampak besar pada kerusakan lingkungan.
Deforestasi di Indonesia bahkan menyumbang 85 persen dari total emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, menjadikannya penyebab utama perubahan iklim.
Menanggapi permasalahan ini, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Mohammad Adib, Drs., M.A., memaparkan gagasan solutif dalam orasi ilmiahnya pada pengukuhan guru besar yang berlangsung di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C UNAIR, Kamis, 27 Februari 2025.
Dalam orasinya, Prof. Adib menekankan bahwa antropologi ekologi memiliki peran penting dalam mewujudkan keadilan lingkungan dan keberlanjutan hutan tropis melalui perhutanan sosial. Menurutnya, ada empat aspek utama yang harus diperhatikan dalam pendekatan antropologi ekologi.
“Kita perlu memahami sistem pengetahuan lokal, menjembatani ilmu pengetahuan dengan kebijakan, mendorong partisipasi masyarakat, serta menganalisis dampak sosial dan ekologi,” ujarnya.
Ia menyoroti peran strategis hutan tropis Indonesia dalam menjaga keseimbangan ekosistem global.
“Hutan tropis Indonesia merupakan yang terluas ketiga di dunia, mencakup 120 juta hektare dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa,” ungkapnya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa laju deforestasi saat ini sangat mengkhawatirkan. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia kehilangan sekitar 20 juta hektare hutan.
“Di Papua misalnya, tutupan hutan berkurang drastis sebanyak 2,6 juta hektare dari tahun 2001 hingga 2021. Penyebab utamanya adalah konversi lahan untuk pertanian, ekspansi kelapa sawit, hutan tanaman produksi, dan pertambangan,” jelasnya.
Menurutnya, pendekatan antropologi ekologi dapat membantu dalam menciptakan perhutanan sosial yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan memahami interaksi antara manusia dan lingkungan secara menyeluruh.
“Antropologi ekologi mengungkap bagaimana kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam dapat menjadi solusi dalam menjaga keseimbangan ekosistem,” katanya.
Lebih lanjut, Prof. Adib menjelaskan bahwa disiplin ilmu ini juga berperan sebagai jembatan antara kepentingan berbagai pihak dalam mengelola hutan secara adil dan lestari.
“Dengan pemahaman yang mendalam terhadap dinamika sosial dan ekologi, antropologi ekologi dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang efektif untuk mengatasi konflik tenurial dan degradasi hutan,” tambahnya.
Ia berharap pendekatan ini dapat menjadi solusi dalam mengurangi konflik terkait lahan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id