KilasJava.id, Surabaya – Reformasi pendidikan di Indonesia bukan perkara mudah karena beragam masalah sosial yang masih membelit sistem pendidikan di tanah air. Guru Besar Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Tuti Budirahayu Dra MSi, menyoroti hal ini dalam orasi ilmiahnya pada Selasa (17/12/2024) di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C UNAIR.
Prof Tuti menjelaskan bahwa masalah pendidikan dapat dilihat dari tiga tataran: makro, meso, dan mikro. Di tataran makro, sistem pendidikan sering kali mereproduksi struktur sosial yang timpang. Pendidikan cenderung menguntungkan kelompok dominan melalui modal budaya dan kebiasaan yang mereka kuasai.
“Reformasi pendidikan yang tidak mempertimbangkan keberagaman struktur sosial, kultur masyarakat, serta sumber daya bisa memperdalam kesenjangan sosial, baik antarsiswa maupun antarsekolah,” tegas Prof Tuti.
Sementara itu, di tataran meso, persoalan muncul dari hubungan antara sekolah dan masyarakat.
Prof Tuti menilai banyak orang tua siswa tidak puas dengan kebijakan sekolah, seperti pungutan biaya dan sistem zonasi. Selain itu, relasi kuasa antara Dinas Pendidikan dan sekolah negeri kerap memperlambat inovasi pendidikan.
“Sekolah masih berjarak dengan masyarakat, dan ini perlu dicarikan solusinya agar pendidikan bisa berjalan lebih efektif dan inklusif,” ujarnya.
Prof Tuti juga menyoroti penerapan Kurikulum Merdeka yang justru berpotensi memperlebar kesenjangan sosial. Kurikulum ini mensyaratkan penggunaan teknologi informasi dan akses internet yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia.
“Sekolah-sekolah di daerah terpencil sering terkendala jaringan internet dan minimnya infrastruktur teknologi, sehingga sulit menerapkan Kurikulum Merdeka secara optimal,” ungkap Prof Tuti.
Untuk mengatasi persoalan ini, Prof Tuti menawarkan gagasan tentang reformasi pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Ia menekankan pentingnya meluruskan dan memperkuat kembali filosofi pendidikan nasional yang berpijak pada Pancasila.
“Reformasi pendidikan harus memperjuangkan nasib masyarakat yang tidak beruntung, termasuk mereka yang mengalami kemiskinan struktural dan kultural, masyarakat minoritas, serta individu berkebutuhan khusus,” tegasnya.
Menurut Prof Tuti, reformasi ini diperlukan untuk memastikan pendidikan nasional memiliki arah yang jelas dan kuat dalam membangun kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.