KilasJava.id, Surabaya – Film “Ipar adalah Maut” menjadi salah satu contoh nyata dari tren baru dalam industri film Indonesia, yakni mengangkat kisah viral dari media sosial ke layar lebar. Fenomena ini mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia kini menjadikan popularitas di dunia maya sebagai acuan dalam memilih tontonan di bioskop.
Angga Prawadika Aji, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR), menanggapi fenomena ini sebagai bentuk adaptasi industri film terhadap pola konsumsi media masyarakat. Menurutnya, viralitas di media sosial menjadi faktor penting yang dimanfaatkan pembuat film untuk memastikan minat penonton.
“Para pembuat film mencari jalan yang termudah. Karena itu memastikan adanya animo masyarakat yang lebih bisa diprediksi daripada kemudian membuat film-film yang lebih risky dari sudut pandang materi,” ujar Angga.
Mengangkat cerita yang sudah dikenal publik dinilai menjadi strategi yang relatif aman secara komersial. Tidak hanya dalam genre drama, praktik ini juga telah lama terjadi dalam film horor Indonesia. Cerita-cerita yang dianggap nyata, khususnya horor yang berkembang dari keseharian masyarakat, menjadi sumber validasi bagi penonton saat disajikan dalam bentuk film.
Angga menambahkan bahwa keterlibatan emosional penonton dalam cerita juga memegang peran besar, terutama untuk kisah-kisah yang berlatar tragedi. Ini terlihat dari munculnya film-film berdasarkan kisah nyata seperti kasus Vina, yang menyita perhatian publik setelah difilmkan.
Salah satu aspek yang juga disoroti Angga adalah karakter masyarakat Indonesia yang gemar membicarakan tragedi orang lain. Hal ini menciptakan budaya konsumsi informasi yang melibatkan aspek gosip dan rasa penasaran kolektif.
“Itu akhirnya menjadi gosip yang dikonsumsi bersama. Akhirnya ketika itu muncul di film itu ada semacam kesenangan,” jelasnya.
Namun, ia menilai bahwa tren semacam ini memiliki batas. Meskipun tidak akan sepenuhnya hilang dari dunia perfilman Indonesia, pola produksi film berdasarkan cerita viral suatu saat akan mengalami kejenuhan di mata audiens.
Angga berharap agar meningkatnya animo masyarakat terhadap sinema juga diiringi dengan peningkatan literasi sinema. Menurutnya, hal ini penting agar masyarakat bisa membuka diri terhadap film-film yang menawarkan pendekatan berbeda, baik dari segi tema, gaya bercerita, maupun kualitas produksi.
“Saya berharap audiens Indonesia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih daripada ini. Nonton horor itu nggak cuma ini tok, nonton film soal cinta nggak cuma ini tok,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa kesadaran tersebut akan mendorong hadirnya film-film berkualitas yang lebih berani mengambil risiko dan menghadirkan hal-hal baru dalam dunia sinema Indonesia.
Dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap sinema, Angga optimis bahwa industri film Indonesia akan semakin berkembang dan mampu bersaing tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di tingkat global.
***Kunjungi kami di news google KilasJava.id